BOOKING TIKET PESAWAT

demokrasi

demokrasi. Info sangat penting tentang demokrasi. Mengungkap fakta-fakta istimewa mengenai demokrasi

Koperasi Online Business Plan KSU-Nuari, berbisnis online bersama koperasi online. Tempat itu tak tercantum dalam peta. Sebutannya hanya "Q1". Letaknya di wilayah Changping, sebelah utara Beijing. Disana ada sumber air panas, tempat Janda Permaisuri Maharaja Manchu dulu datang untuk membersihkan diri. Kini, yang dibersihkan lain sama sekali. Sebab "Q1" adalah sebuah tempat di Republik Rakyat Cina yang dari luar nampak seperti gedung tanpa dosa. Namun didalamnya ada kawat berduri dan pintu besi. Siapa saja yang ditentukan oleh Kementrian Keamanan Publik harus disingkirkan, dia akan masuk ke salah satu sel disitu. Dan biasanya tak kembali. Juga Wei Jingsheng, mungkin tak akan kembali.

Wei Jingsheng, ia anak muda, tukang listrik, yang di tahun 1979 ditahan dan kemudian dihukum 15 tahun. Dosanya : ia "kontrarevolusioner". Barangkali itu benar. Ia memang "kontra" revolusi yang telah menyebabkan "kediktatoran proletar" berdiri.

Wei Jingsheng mendirikan majalah "Ekplorasi" dan ia menuntut demokrasi. Itu membuatnya dikirim ke "Q1". Dan dari catatannya yang entah bagaimana dapat diselundupan keluar, terbetik cerita tentang rumah penyiksaan di Changping itu. Buku Seeds of Fire (Benih Api) yang terbit di Hongkong pada tahun 1987 memuat catatannya itu. Dan seluruh dunia pun mendengarnya…

Menurut cerita Wei, hidup di Q1 ditertibkan dengan siksaan obat bius, pemukulan, atau lampu besar yang menyoroti si korban siang-malam. Wang Guangmei, istri Presiden Liu Shaoqi - rekan seperjuangan Mao, yang kemudian yang kemudian dianggap musuh dank arena itu harus bersama istrinya harus disingkirkan, pernah disiksa di Q1 dengan cara seperti itu. Ia disoroti lampu besar untuk waktu yang lama sekali. Hingga suatu hari, ketika sedang makan roti dan sayur, wanita tua itu berubah ingatan.

"Kediktatoran", tulis Wei Jingsheng, "memang membutuhkan penjara seperti Q1". Orang juga bisa mengatakan, dengan sedikit berlebihan, bahwa kediktatoran telah membuat kehidupan diluar sel pun sama dengan sebuah Q1.

Wei Jingsheng mencoba menjebol kungkungan itu. Ia menganggap bahwa "Empat Modernisasi" Deng Xiaoping tidak memadai. Ia serukan keharusan adanya "Modernisasi Kelima", modernisasi politik, yang berarti demokrasi dan perlunya hak asasi. "Kita tak ingin lagi dewa-dewa dan maharaja", tulisnya sebelum ia masuk Q1 pada umurnya yang masih muda. Tapi, mungkinkah?

Demokrasi bisa dituntut, dan Mao pun sebenarnya dulu memimpikan itu. Tapi setelah 2.000 tahun lebih, nampaknya akan masih sia-sia. Mungkin karena permasalahannya bukan pada Maoisme, yang telah sekarat dan hampir dikuburkan. Ada seorang penulis Cina, Sun Longji, yang menduga bahwa akarnya terpancang lebih dalam : pada bagaimana cara Kong Hu Cu memahami manusia. Pemahaman Konfusian itu tersirat pada kata "ren", yang kurang-lebih berarti "kemanusiaan". Menurut Sun Longji, tulisan Cina untuk kata itu terdiri dari dua komponen yaitu "manusia" dan "dua". Disana nampak bahwa pada hakikatnya "kemanusiaan" adalah suatu hubungan bilateral. Hanya dihadapan seorang lain kemanusiaan kita dapat berkembang. Seorang yang menyendiri tak dapat diterima.

Seseorang yang tidak dibatasi oleh hubungan sosial dianggap "immoral". Hubungan itu bisa berupa hubungan antara kaisar dan pejabat, ayah dan anak, suami dan istri, majikan dan buruh. Dengan kata lain, hubungan yang integral dan juga hierarkis. Seseorang dianggap tidak bisa menjadi satuan yang mandiri. Tak mengherankan, kata Sun Longji, bila kemudian pemerintah memiliki control yang total. Sebagaimana seorang ayah yang menurut adat harus mengontrol anaknya.

Asumsi yang berlaku dalam hubungan kekuasaan seperti diatas itu ialah bahwa individu adalah sesuatu yang harus dicurigai. Bila perlu digertak. Pada saat yang sama, konflik pun dianggap tidak pernah ada, atau tidak pantas ada. Sebab itu agaknya individu tidak diasumsikan sebagai sesuatu yang lemah, yang mudah terancam kesewenang-wenangan. Juga dianggap tak perlu ada aturan hokum yang bisa mengelola persengketaan antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Seperti kata ahli sinology terkemuka, John K. Fairbank, "Dalam demokrasi, kekuasaan dilegimitasikan oleh hukum. Tapi di Cina, kekuasaan dilegimitasikan oleh moralitas". Dan terjadi di hampir semua Negara ketiga.

Maka, baik Kong maupun Mao beranggapan bahwa dalam memerintah yang diperlukan adalah pikiran dan sikap yang benar, bukan proses hokum yang sesuai aturan. Tapi yang jarang dikatakan terus terang adalah bahwa akhirnya yang menetapkan apa yang "benar" dan yang "salah" ialah, apa boleh buat, siapa saja yang sedang memiliki kekuatan untuk memaksa.

Tak mengherankan jika Wei dimasukkan ke "Q1". Dan kini entah dimana…..


BOOKING TIKET PESAWAT
Powered By : Blogger